Simbol Bajak Laut ‘One Piece’ Jadi Bahasa Protes di Jalanan
Semakin mendekati tanggal 17 Agustus 2025, simbol bajak laut dari manga *One Piece*—topi jerami dengan tengkorak—kian mendominasi ruang-ruang publik dalam bentuk mural, poster, dan bendera. Seniman seperti Kemas Muhammad Firdaus berani mengecat simbol tersebut di dinding kosong, dengan tujuan menyuarakan ketidakpuasan terhadap korupsi dan pengangguran di bawah pemerintahan saat ini.
Gerakan ini berkembang pesat di kalangan mahasiswa, seniman, dan aktivis—menjadikan simbol *One Piece* sebagai ikon perlawanan damai. Di Bekasi, mural tersebut muncul di sudut-sudut kota, sementara di Karanganyar, penjual bendera menyerbu permintaan custom, menandakan momentum simbolik yang diadopsi oleh rakyat.
Respons Pemerintah: Antara Kritik Hingga Larangan
Langkah fenomenal ini segera menuai reaksi serius dari pihak berwenang. Beberapa anggota Parlemen mengecam penggunaannya sebagai simbol pengkhianatan dan penghinaan terhadap bendera merah putih. Sementara kantor Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa meskipun kritik sah dalam demokrasi, simbol ini sebaiknya tidak berkibar berdampingan dengan bendera negara.
Amnesty International mengkritik tindakan pihak berwenang yang menyita bendera *One Piece* di Jawa Timur sebagai berlebihan dan mencederai kebebasan ekspresi. Namun, para pendukung simbol ini menegaskan bahwa itu bukan seruan anarki, melainkan refleksi artistik atas keresahan publik.
Simbol Populer sebagai Kritik Politik yang Melekat dalam Budaya
Simbol “One Piece” bukan sekadar ilustrasi—melainkan representasi visual yang kuat. Tokoh Monkey D. Luffy dalam serial terkenal itu melekas batas sosial dan otoritas, cocok jadi metafora resistensi terhadap sistem yang dianggap korup. Gerakan pemerintah pun tidak bisa mengabaikan pengaruh budaya populer dalam menyuarakan kritik di era modern ini.:contentReference[oaicite:8]{index=8}
Ikon tersebut mengingatkan pada masa 1998, di mana simbol-simbol dan kreativitas visual juga menjadi senjata efektif bagi generasi muda melawan otoritarianisme. Kini, simbol bajak laut modern menyulut kembali memori sejarah perlawanan, tapi dengan cara yang lebih lembut dan terjangkau publik.
Kesimpulan: Ketika Budaya Pop Jadi Penyalur Kritik
Penggunaan simbol *One Piece* sebagai alat ekspresi publik menunjukkan kekuatan budaya pop dalam menyampaikan kritik secara luas dan damai. Meskipun menuai kontroversi, semangat dibalik aksi ini jelas—menuai perhatian dan memaksa dialog kritis, tanpa kekerasan.
Aksi ini bukan hanya soal protes, tapi soal eksplorasi cara baru pengungkapan aspirasi publik. Simbol bajak laut kini menjadi simbol perlawanan—tanpa merusak, tapi tetap tajam menyentuh arah kebijakan penguasa.